ABUYA KH Abdurahman Nawi, merupakan salah satu ulama kelahiran Betawi yang banyak dikenal warga Jakarta dan sekitarnya. Tidak heran karena ulama yang tinggal di kawasan Tebet, Jakarta Selatan ini mengajar dan memberikan ceramah di 14 majelis di lima wilayah ibu kota.
Selain itu, sekalipun usianya sudah berkepala tujuh, tapi kakek belasan cucu ini masih meluangkan waktunya untuk mengajar di dua persantren yang dibangunnya sendiri. Kedua pesantrennya ini terletak di Jl Raya Sawangan No. 21 Depok yang diberi nama Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Awwabin I. Hanya sekitar lima km terdapat Ponpes Al-Awwabin II di Jl H Sulaeman 12 Bedahan, Sawangan, Depok.
Ketika ditemui Repubklika Selasa (20/7), KH Abdurahaman Nawi yang masih tampak energik dalam usianya yang lanjut, tengah memberikan pengarahan kepada para orang tua calon santri yang tengah mendaftar di Ponpes Al-Awwabin I. Jumlah para murid baru, mulai dari madrasah ibtidaiyah (MI), tsanawiyah (MTs) dan aliyah mencapai ratusan santri.
Ponpes yang luasnya 800 meter persegi ini mempunyai hampir seribu santri. Bila di Ponpes Al-Awwabin I diperuntukan bagi santri laki-laki dan perempuan, tidak demikian dengan Ponpes Al-Awwabin II. Ponpes ini hanya ditujukan bagi santriwati. Sampai hari ini, sebanyak 300 santriwati tercatat menuntut ilmu di lokal baru pesantren ini. Menurut KH Abdurahman, bangunan pesantren akan terus dikembangkan. Luas tanahnya sendiri hampir empat hektar.
”Insya Allah, Ponpes Al-Awwabin akan terus melebarkan sayapnya dengan membuka ponpes di berbagai tempat dengan tujuan untuk memelihara syiar Islam,” katanya. Pendirian Al-Awwabin dirintis lebih dari 20 tahun dan diresmikan tahun 1984. Untuk tujuan mulia ini, kyai yang sehari-hari berpeci putih dan jubah putih, dibantu oleh istrinya, putra-putri, dan menantunya, yang mengajar di kedua Ponpes di Depok. ”Cucu saya juga ikut mengajar,” katanya.
Pengelolaan pesantren juga diserahkan pada mereka. Anaknya, Drs H Ahmad Muchtar memimpin Ponpes Al-Awwabin I. Istrinya memegang kendali Ponpes Al-Awwabin II. Kendati dikelola keluarga, bukan berarti pesantren ini tidak profesional. Lulusan ponpes tidak hanya menjadi ‘jago kandang’ saja, tapi juga berkiprah secara lebih luas. Banyak alumnusnya yang kini menimba ilmu di Universitas Al-Azhar (Mesir) dan Universitas Islam negeri (UIN) Jakarta.
Bahkan, kata kyai yang bicaranya kental dengan logat Betawi, banyak alumninya yang kini menjadi ulama dan membuka pesantren. Ia mencontohkan Pesantren Daarul Mustafa di Jakarta, yang namanya cukup dikenal.
Biaya terjangkau
Biaya pendidikan di ponpes ini lumayan terjangkau. Saat mengawali mukim di ponpes, masing-masing santri baru dipungut biaya Rp 2.975.000. Sedang biaya bulanannya hanya Rp 315 ribu. Sedangkan fasilitas yang disediakan untuk para santri selama mereka di Ponpes adalah : kitab-kitab, seragam sekolah, seragam olahraga, bahan batik sekolah, buku komputer dan disket, iuran organiasi santri, dan Pramuka selama satu tahun. Di ponpes ini para santri makan sehari tiga kali, dengan menu yang bervariasi.
Biaya pendidikan di ponpes ini lumayan terjangkau. Saat mengawali mukim di ponpes, masing-masing santri baru dipungut biaya Rp 2.975.000. Sedang biaya bulanannya hanya Rp 315 ribu. Sedangkan fasilitas yang disediakan untuk para santri selama mereka di Ponpes adalah : kitab-kitab, seragam sekolah, seragam olahraga, bahan batik sekolah, buku komputer dan disket, iuran organiasi santri, dan Pramuka selama satu tahun. Di ponpes ini para santri makan sehari tiga kali, dengan menu yang bervariasi.
Kalau di sekolah umum, pendidikan agama hanya dua jam per minggu, sedangkan di Ponpes Al-Awwabin pendidikan agama 30 persen dan pengetahuan umum 70 persen. ”Jadi tidak perlu balajar-mengajar agama lagi, seperti di sekolah-sekolah umum,” ujar KH Abdurahman.
Sistem pendidikan formal mengacu pada Surat Keputusan Bersama (SKB) Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama untuk mendapatkan ijazah negeri. Sedangkan pendidikan nonformal (tradisional) mengkaji kitab kuning untuk memperdalam ilmu agama. Jenjang dan status pendidikan ibtidaiyah diakui, sedang tsanawiyah dan aliyah disamakan.
Gemblengan terhadapat para santri juga ketat untuk menanamkan disiplin terhadap mereka. Para santri diharuskan bangun pukul 04.00 pagi sebelum shubuh. Bahkan khusus hari Jumat, mereka diwajibkan bangun pukul 03.30 untuk qiyamullail. Sambil menunggu shalat subuh para santri secara berjamaah di masjid pesantren membaca istighfar. Setelah shalat subuh berjamaah dilanjutkan dengan penghapalan qowaid naswiyyah.
Setelah sarapan pagi merupakan waktu sekolah hingga pukul 12.15 dan makan siang setelah shalat zuhur. Setelah shalat ashar dilanjutkan dengan pengajian halaqah. Setelah shalat maghrib dilakukan wiridan dan dilanjutkan dengan tadarusan. Khusus pada malam Jumat dilakukan pembacaan tahlil. Setelah shalat isya masih dilanjutkan dengan pengajian halaqah dan muthaalah.
Ponpes Al-Awwabin I dilengkapi dengan asrama putra dan putri, gedung sekolah berlantai dua, pusat kesehatan pesantren (Puskestren), pengajian santri dan lapangan olahraga.
Dari Berbagai Golongan
KH Abduraahman Nawi sangat dikenal di pengajian-pengajian tradisional. Sebagai ulama Betawi, pria yang menikah pada tahun 1950 sangat tekun mempelajari agama dan ilmu pengetahuan. Dia lalu menyebut sejumlah gurunya, baik para habaib maupun ulama. ”Saya pernah belajar di Mekkah dengan ulama besar Sayid Muhammad Al-Maliki”, katanya.
Dia juga rajin menuntut ilmu pada almarhum KH Abdullah Syafi’ie, yang kini telah memiliki perguruan Islam As-Syafiiyah dari tingkat TK sampai Perguruan Tinggi. Almarhum KH Abdullah Syafi’ie ini yang namanya diabadikan untuk sebuah jalan protokol di Jakarta, patut diacungkan jempol karena kegigihannya dalam syiar Islam.
Sedangkan diantara belasan habib terdapat sejumlah nama, antara lain almarhum Habib Ali bin Abdurahman Alhabsji, Habib Ali Bin Husin Alatas, dan Habib Abdurahman Assegaff. Bagi KH Abdurahman Nawie, perjuangan untuk dakwah tidak mengenal kata akhir. Ia pun bertekad untuk melebarkan sayap dari pesantren yang dipimpin, seperti yang telah dilakukan oleh salah seorang guru yang sangat dihormatinya, KH Abdullah Syafi’ie
Tidak ada komentar:
Posting Komentar